Sabtu, 13 Maret 2010

Refleksi

21 tahun yang lalu

Ayam jantan dengan suaranya yang lantang berkokok

Menyampaikan kabar gembira

Menyambut lahirnya seorang khalifah

Seiring berjalannya waktu

Matahari mulai menampakkan diri

Sinar hangatnya menyapa

Memberi pencerahan yang sebelumnya gelap gulita

Semakin tinggi matahari

Pancarannya semakin menyengat

Menaikkan suhu emosi

Namun matahari tak selamanya di puncak

Ia tergelincir turun

Memberikan sinar sendu kemerahan

Pertanda malam datang

Ntah kapan malam itu datang pada diri kita

Saat mata ini harus tertutup selamanya

Saat jiwa ini terpisah dari raga yang selalu melindunginya dari sinar matahari



13 Januari 2010

By Mayrane

Apa Kabar Diariku?

Sudah satu tahun Tia duduk di bangku SMA. Hari pertama liburan semester ini dia habiskan untuk membaca kembali perjalanannya selama setahun. Tia mengambil buku hariannya yang tergeletak di atas tempat tidurnya, tepat disebelah kaset Simple Plan, Still Not Getting Any. Tia duduk di atas kursi belajarnya yang menghadap ke jendela kamarnya. Dia mulai membuka lembar pertama.

***

6 Juli

Kata orang, masa SMA adalah masa yang tidak akan pernah terlupakan. Ku sendiri belum tahu, apakah benar begitu karena besok adalah hari pertamaku mengenakan seragam putih-abu-abu, jadi aku akan tahu nanti…

*

7 Juli

Hari pertama masuk sekolah, ku gugup sekali, masalahnya ku mempunyai sifat yang menghambatku untuk bersosialisasi dengan orang lain, pendiam. Ku melangkah menuju kelas yang masih sepi, hanya ada 4 orang. Lalu seseorang menghampiriku.

“kenalkan saya Resti!” katanya sambil menulurkan tangannya, dia tersenyum.

“Aristya, tapi panggil saja Tia!” ku sambut uluran tangannya.

Ku berkenalan dengan Icha, Fitri, dan Nurul. Resti mengajakku duduk sebangku dengannya dan langsung ku setujui. Setelah berkenalan dengan mereka rasa gugupku hilang. Satu persatu ku berkenalan dengan teman-teman yang lain tapi tidak bisa langsung mengingatnya karena tidak mudah menghapal 40 orang dalam 1 hari.

*

12 Juli

Resti memutuskan untuk bergabung dengan ekskul Paskibra, sedang aku masih bimbang. Resti senang sekali bercerita tentang pacarnya yang sedang kuliah tahun akhir, Yoga namanya. Mereka telah 1 tahun pacaran dan orang tua Resti juga sangat dekat dengan Yoga.

“Yoga sangat pengertian, dia selalu bisa menenangkanku saat perasaanku kacau. Apalagi dia sudah dekat sekali dengan mama. Mama sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri” Cerita Resti sambil membayangkan wajah Yoga. Ku yang mendengarnya hanya tersenyum.

Sungguh beruntung Resti telah menemukan seseorang yang benar-benar saying sama dia.aku kapan ya?...

Walau aku sebangku dengan Resti, namun ku lebih dekat dengan Icha, Fitri, dan Nurul. Kami selalu ke kantin bareng, bahkan kami berencana masuk ekskul olahraga basket, yang kebetulan klub basket perempuan baru dibentuk.

*

14 Juli

Bel tanda jam pelajaran pertama selesai berbunyi.

“Aristya, Bagikan buku tugas teman-temanmu!” perintah Pak Ayi.

Kubangun dari tempat duduk, berjalan ke meja guru mengambil buku-buku fisika, sementara itu Pak Ayi keluar kelas untuk mengajar di kelas sebelah. Ku berdiri di depan kelas.

Novi…, Annisa…, Andi…,!” ku sebutkan satu persatu nama pemilik buku tersebut sambil mengingat-ingat wajah pemiliknya.

“Johan…, Resti…, Arman…!” kataku. Nama yang kusebut terakhir maju yang tanpa kusadari menyita perhatianku. Dia seorang anak laki-laki yang duduk di barisan paling depan dekat pintu bergerak menghampiriku. Dia mengambil bukunya sambil tersenyum, membuatku terpana selama 5 detik. Ku merasa ada Sesutu yang berbeda…

“Icha…, Nurul…, Ferdi…!” ku lanjutkan membagikan buku.

*

10 Agustus

Resti jarang masuk kelas karena jadual latihan Paskibra yang padat, persiapan untuk 17 Agustus. Ka Wisnu sangat bersemangat melatih pasukan Paskibra. Sebagai ketua Paskibra, sudah menjadi tanggung jawabnya melatih, suaranya mengelegar ke seluruh pelosok sekolah. Kebetulan aku, Icha, Fitri dan Nurul sedang latihan basket.

“Tia, sudah buat tugas bahasa Inggris?” Tanya Icha, selesai latihan basket.

“sudah” jawabku.

“ku tidak paham penjelasan Bu Monika, ajarkan ya..” pinta Icha

“atur saja” kataku

Sepulang latihan Icha ke rumahku mengerjakan tugas bahasa Inggris. Padahal Icha selalu mendapat pujian dari Bu Monika karena tugas-tugas Bu Monika selalu ia kerjakan dengan sangat baik. Fitri dan Nurul sudah selesai mengerjakannya jadi mereka tidak ikut belajar bareng di rumahku. Selesai belajar, Icha cerita tentang pacarnya yang menggantung hubungan mereka. Di akhir cerita, Icha meminta pendapatku, apa yang haus ia lakukan, sempat terlintas dalam benaknya untuk putus saja.

“kalau memang menurutmu itu yang terbaik, kenapa tidak. Lagipula semenjak masalah ini muncul, konsentrasi belajarmu kacau. Banyak melamun di kelas, sampai-sampai tugas bahasa Inggris tidak bisa kamu kerjakan, padahal kamu lebih pintar bahasa Inggrisnya dibandingkan denganku”

Itulah yang membuat kami berempat menjadi akrab. Kami selalu berbagi masalah dan solusi. Saling mengisi baik di saat senang maupun sedih. Awalnya ku sangat tertutup, ku takut menceritakan apapun tentang diriku kepada orang lain karena alasan kepercayan kini mulai terbuka kepada mereka. Mereka bersedia menjadi pendengar saat ku butuh seseorang untuk bernagi, mereka juga siap saat ku minta pendapat tentang suatu masalah, kapanpun. Mereka adalah sahabat terbaikku, bagian dari puzzle hidupku. Tugasku adalah menjaga agar susunan puzzle itu tidak hilang.

*

13 Oktober

Setelah mid semester, berita mengejutkan datang dari Resti. Dia pacaran dengan Ka Wisnu, ketua paskibra. Padahal dia masih pacaran dengan Ka Yoga.

“kami setiap hari bertemu, kamu tahu, melakukan kontak, yang tanpa sadar kami saling menyukai. Padahal kami sudah punya pasangan masing-masing. Pacarnya Ka Wisnu juga lebih cantik daripada aku, tapi pacar Ka Wisnu sangat dingin, dan dia merasa nyaman bersamaku, kata Ka Wisnu. Dia bahkan akan memutuskan pacarnya, walaupun dia tahu ku sudah punya pacar” cerita Resti

Ku tidak bisa komentar apa-apa. Sangat membingungkan, Resti yang ku sangka telah menemukan jodohnya, malah selingkuh dengan ketua Paskibra. Memang rasa suka itu bisa datang kapan saja, tapi sungguh aku tidak habis pikir. Kukira hubungan Resti dengan Ka Yoga baik-baik saja.

Di samping itu, Fitri menyadarkanku akan sesuatu yang telah lama aku lupakan. Sejak sensasi pertama kali melihatnya, aku benar-benar lupa akan keberadaanya di kelas.

“Arman, manis ya…” kata Fitri, saat kami sedang kumpul di dalam kelas jam istirahat.

“kamu suka sama dia?” Tanya Nurul

“coba, perhatikan senyunya!” kata Fitri

“iya, ada lesung pipitnya!” kataku

“benarkan?! Ku tidak pernah salah menulai orang”

“kamu benar-benar suka sama dia? Jarang-jarang kamu memuji kaum Adam seperti itu!” desak Icha

Fitri hanya tersenyum. Saat itu kumenyadari keberadaan Arman di kelas dan rasa yang pada saat pertama kali kumelihatnya, muncul kembali. Ini sungguh membuatku bimbang antara perasaan ini dengan Fitri, sahabatku, mana yang harus kupilih?

*

5 Februari

Sejak kumenyadari keberadaan Arman, semakin sering kumemperhatikannya. Ditambah Fitri semakin sering membicarakannya, membuatku semakin bimbang. Walau begitu, sampai saat ini ku masih merahasiakan perasaanku. Sebagai orang pendiam tidak sulit menyembunyikan perasaanku dari orang lain, tapi masalahnya bagaimana ku bisa menyembunyikan perasaan ini dari diriku sendiri…

Hal ini berdampak pada pelajaranku. Ada beberapa pelajaran yang nilainya menurun dibanding pada saat mid semester. Tentu saja orang tuaku mempertanyakannya. Walau begitu mereka sama sekali tidak marah apalagi membentak, hal ini memebuatku semakin sedih karena ku tahu, ayahku bekerja mempertaruhkan nyawanya hanya untuk pendidikan anak-anaknya. Ku berjanji pada diriku sendiri demi kedua orang tua yang sangat aku sayangi, aku akan membuat mereka bangga.

Sementara itu, Fitri mulai memberanikan diri untuk mendekati Arman. Membicarakan tentang pelajaran sampai musik. Bahkan meraka juga saling pinjam kaset, mereka terlihat sangat akrab, bahkan teman-teman yang lain menyangka kalau mereka pacaran. Ingin rasanya menjadi Fitri, yang bisa selalu dekat dengan Arman. Hal ini semakin membuatku terpenjara dalam perasaan sendiri. Bagaimana pun juga hal ini tidak boleh mempengaruhi pelajaranku!

Sampai Fani memberitahu Arman, kalau Fitri suka terhadapnya. Yang kusendiri tidak tahu bagaimana Fani bisa mengetahuinya. Padahal setahuku hanya ada 3 orang yang dipercaya Fitri. Hal ini membuat Arman menjauhi Fitri. Kukira Arman juga menyukai Fitri karena mereka terlihat akrab sekali sebelumnya. Sejak saat itu, Fitri selalu berkata “ku hanya ‘suka’ sama dia, tidak lebih! Lagipula Tia juga suka sama dia kan?!”

“eh… iya” kataku, terbata-bata.

Ku sangat mengerti apa yang Fitri rasakan, terlihat ada kecewa, marah, dan sedih. Aku yang diam-diam suka pada Arman, sedih melihat Fitri seperti ini.

*

6 Februari

“NURUL! Apa maksudnya kamu cerita ke Fani kalau aku suka sama Ade!” bentak Fitri

“sebenarnya, aku hanya ingin membantu, mendekatkanmu dengan Arman. Tidak ada niat lain! Aku minta maaf, benar-benar tidak menyangka bakal begini jadinya.” Kata Nurul, sambil memegang tangan Fitri.

Fitri melempar tangan Nurul, sambil membentak “KAU LIHAT BEGINI JADINYA!” Fitri pergi meninggalkan Aku, Icha, dan Nurul.

Aku mengejar Fitri sementara itu Icha menenangkan Nurul yang menangis.

“TRI!” ku panggil Fitri, yang tidak menoleh sedikit pun. Ku berlari mengejarnya, ketika ku sejajar dengannya, kumelihatnya menangis.

“Tri…” kataku.

“sebenarnya berada di dekatnya saja sudah cukup. Lebih baik dia tdak mengetahuinya tapi kami selalu dekat daripada dia mengetahuinya tapi kami malah menjauh” kata Fitri sambil terseu-sedu menahan isak tangis.

Kurangkul tubuhnya, kumerasakan getaran. Ku tahu tidak hanya tubuhnya saja yang bergetar tapi juga hatinya. Tanpa kusadari air mataku menetes membasahi pipiku.

*

28 Mei

Menjelang ujian semester semua murid disibukkan dengan tugas yang menumpuk. Banyak siswa yang mengadakan belajar kelompok, termasuk aku, Fitri dan Icha. Walau Fitri telah memaafkan Nurul, namun Nurul memilih menjauh dari kami. Nurul yang pendiam kini benar-benar sendiri tanpa kami yang bisa membuatnya banyak bicara. Aku akan berusaha mengajak Nurul kembali.

“aku sudah memaafkan Nurul. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa” kata Fitri tersenyum sambil mengangkat bahunya.

Aku tahu yang dikatakannya benar dia sudah memaafkan Nurul, tapi melupakan yang telah terjadi tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh waktu hampir 2 bulan.

Arman meminjam kaset Simple Plan, Still Not Getting Any, padaku selama seminggu. Katanya buat menemani belajar. Dari mana dia tahu ku punya kaset Simple Plan? Setahuku hanya Fitri yang tahu karena dia yang mengantarkanku ke toko kaset.

Sementara itu Resti memutuskan untuk kembali kepada Ka Yoga, karena dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia masih sayang kepada Ka Yoga. Sedang Ka Wisnu memilih mempertahankan perasaannya walaupun Resti lebih memilih Ka yoga. Dari awal Ka Wisnu sudah tahu konsekuensinya pacaran dengan Resti.

***

Tia menutup buku hariannya sambil menghembuskan nafasnya. Angannya melayang mencari sosok Arman yang pindah sekolah karena orang tuanya harus pergi ke Medan, pindah tugas kesana. Tidak ada yang tahu alamatnya di Medan. Perhatian Tia teralihkan ke kaset Simple Plan yang pernah dipinjam Arman. Tia tidak pernah menyentuhnya sejak Arman mengembalikannya. Tia mengambil kaset tersebut. Tiba-tiba dia melihat ada secarik kertas yang terselip pada sampul kaset. Dia langsung mengambil dan membacanya


Kelembutan angin menyapaku

Awan tak berbintang

Menertawakanku

Rintik-rintik hujan

Membasahi pikiranku

Hingga

Rindu, Cinta, Keserakahan, dan rasa sayang

Bercampur

Hingga menjadi

Jiwa yang resah[*]



[*] Puisi ini bukan karya penulis



AKU



Rumah kecil di pinggir jalan yang dihiasi sedikit tanaman di halaman depan adalah rumah hasil jerih payahku selama 10 tahun bekerja. Sebelumnya aku mengontrak di rumah petak milik Pak Ali di daerah Ciputat, Tangerang. Aku sudah bekerja sejak lulus SMA. Tinggal sendirian tidak membuatku takut. Malah memberiku ruang ketenangan setelah penat seharian bekerja.
Rumah yang baru 1,5 bulan kutempati ini berdiri di samping sebuah rumah milik Ibu Rahma. Sebenarnya ada satu rumah yang membuatku penasaran. Rumah itu terletak persis di sebelah rumah ibu Rahma. Bukan karena rumah itu besar dan megah, tapi lebih karena penghuninya yang sampai saat ini belum ku ketahui siapa. Setiap malam kumendengar alunan piano yang indah setiap kali kumelintasi rumah itu sepulang bekerja.

“Apa sih maunya Pak Herman? Setiap hari, ada saja alasannya untuk memarahiku! Apa-apa aku. Semua salah aku. Memang hanya aku saja yang bekerja untuknya!”, batinku sesampainya di rumah.
Kubaringkan tubuhku yang basah dengan peluh di atas tempat tidur. Aku pun tertidur dengan lelap. Melupakan sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan hari ini dan menyambut hal-hal yang tidak menyenangkan esok hari.

“Apa kamu sudah bosan bekerja disini!”, bentak Pak Herman, “kerjaanmu nggak pernah beres! Selalu salah!”
“Maaf Pak, tapi semua surat yang datang pagi ini sudah saya letakkan di atas meja Bapak.”
“kalau sudah kamu letakkan di meja saya, pasti ada di sini!” bentaknya sambil memukul meja yang berada persis di sampingnya.
“Iya Pak, akan saya carikan surat-surat itu.”
“ya sudah! Apa yang kamu tunggu? Cari sekarang!”
Aku pun meninggalkan ruangan Pak Herman. Mencari surat-surat yang ntah bagaimana bisa lenyap dari meja Pak Herman. Padahal aku yakin sudah meletakkannya di sana pagi ini.

“Kenapa? Dibentak Pak Herman lagi? Gara-gara surat-suratnya nggak ada di mejanya?” Tanya Bella
“Dari mana kamu tahu tentang surat-surat itu?” tanyaku “jangan-jangan kamu yang mengambilnya?!”
“Mungkin ya, mungkin tidak..”
“Kembalikan surat-surat itu sekarang!”
“Wu… aku takut..”
“Kembalikan surat-surat itu SEKARANG!”
“Aku akan mengembalikannya, tapi jauhi Pak Herman!”
“Terserah, kembalikan surat-surat itu!”
“Nih ambil!” sambil melempar surat-surat itu ke lantai

Heran. Kenapa Bella bisa cemburu kepadaku? Bukankah setiap hari aku selalu dibentak oleh Pak Herman. Apa karena aku sekretarisnya? Lagipula kalau dia mau, ambil saja aku tidak peduli.

Setiap sore ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahku berkumpul memperbincangkan hal-hal yang tidak penting yang sebenarnya bukan urusan mereka. Sore ini, ketika pilang bekerja, kumendengar mereka membicarakan kematian ayahku yang mendadak ketika pulang bekerja. Mereka menduga aku yang meracuninya. Bagaimana mungkin aku yang melakukannya. Pada saat itu aku sedang berada di kantor. Lalu ku maki saja mereka semua. Mereka semua lari dan selama tiga hari berikutnya, tanpa komando tidak ada perkumpulan tidak berguna itu. Memang hubunganku dengan ayah tidaklah baik. Kami kerap kali bertengkar. Namun aku toh, aku tidak membuangnya atau menitipkannya di panti jompo. Aku ingin berbakti kepadanya, karena aku mencintainya sebagai satu-satunya orang tua yang aku kenal.

Menjadi anak tunggal, membuatku menyukai anak-anak. Tapi entah sejak kapan aku jadi membenci anak-anak. Mereka selalu membuatku kesal. Mencabuti tanaman yang kupelihara dengan baik. Bahkan mereka sering melempari rumahku dengan batu atau kerikil, yang terkadang membuat kaca rumahku pecah. Dan ketika kuminta ganti rugi kepada orang tua mereka. Semuanya bergeming. Aku yakin pasti didikan orang tua mereka yang suka mencampuri urusan orang lain.

Hanya ibu Rahma yang mengertiku. Ia adalah ibuku. Bukan ibu kandung karena aku tak mengenal ibu. Ayah tidak pernah menjawab setiap kali ku bertanya tentang ibu. Malah seringkali menyulut api pertengkaran antara kami. Maka sampai sekarang aku tidak ibu. Ibu Rahma tempatku mencurahkan segalanya. Sampai hari ini.
“Nak, Ibu dipindahtugaskan ke daerah Bantul Jogjakarta. Ibu berangkat minggu depan. Dan rumah ini akan ibu jual, besok penghuni baru akan datang melihat rumah ini.”
“kok, begitu tiba-tiba? Apa Ibu akan meninggalkanku sendirian disini? Apa Ibu sudah tidak sayang lagi padaku?”
“Bukan begitu Nak. Kamu tahu, Ibu bekerja di lembaga sosial dan harus siap di tempatkan dimana saja. Ibu juga sudah tidak punya siapa-siapa selain kamu. Ibu janji akan sering menghubungimu dan datang untuk menjengukmu disini”

Dengan berat hati kumelepas kepergian Ibu Rahma. Dia yang selalu membelaku di saat ku terpojok oleh keadaan. Mengangkatku saat ku terjatuh. Mengingatkanku di saat ku salah. Namun kupegang janji Ibu Rahma.

Seminggu kemudian, sepulang kerja, tidak seperti biasanya, aku ingin menonton siaran televisi. Di salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan berita kecelakaan lalu lintas di daerah pantura. Sebuah bis terguling ke pinggir jalan dan tidak ada seorang penumpang pun yang selamat. Dan salah satu korbannya adalah Ibu Rahma.

Entah skenario apa yang Tuhan berikan padaku untuk ku perankan. Mungkin Tuhan tidak senang membuatku bahagia. Semua kebahagiaanku dirampas secara paksa. Laksana seorang anak yang sedang bermain dengan mainan barunya lalu dirampas begitu saja. Kepergian Ibu Rahma sangat membuatku terpuruk. Ku tak menyangka. Aku jatuh sakit. Tidak masuk kerja selama 2 hari. Tidak ada seorang pun dating menjenguk. Kecuali Pak Herman yang menelpon menanyakan keadaanku dan kapan aku bisa kembali bekerja. Ku yakin, dia pasti kehilangan boneka yang biasa ia marahi.
Sudah 2 hari aku tergeletak. Perutku juga belum terisi apapun. Maka ku paksakan diri untuk keluar membeli makanan. Ketika melintas rumah besar itu, ku melihat seorang pemuda sedang duduk di kursi teras rumah memegang selembar kertas dan pensil. Ku amati pemuda itu. Yang membuatku tertarik bukanlah paras rupawannya tapi apakah dia tidak merasa bahwa aku dari tadi mengamatinya. Tiba-tiba pensilnya terjatuh tergeletak di bawah kursi. Pemuda itu terlihat kesulitan mencari pensilnya, padahal sangat mudah menemukan pensilnya karena terletak persis di bawah kursi dekat kakinya. Apa mungkin dia buta? Maka ku putuskan untuk menghampirinya. Kebetulan pagar rumahnya tidak terkunci.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku
“Iya, tolong carikan pensil saya. Tadi terjatuh”
kuambil pensil itu dan menyodorkan pensil itu kepadanya, namun ia bergeming.
“Apa sudah ketemu?” tanyanya
“Iya, ini pensilnya”
Ia menengadahkan tangannya seperti orang minta-minta. Lalu kuberikan pensil itu kepadanya. Ternyata benar dia buta.

Kami pun berkenalan. Aku merasa cocok dengannya. Rupanya dia yang setiap malam memainkan piano. Aku tak menyangka ia buta sejak lahir, karena ia pandai melukis dan lukisan-lukisannya begitu real. Seperti ia pernah melihatnya secara langsung.
Aku mengunjunginya setiap pulang kerja. Kami ngombrol, saling curhat dan semakin dekat. Ibu-ibu menggosipkanku wanita murahan yang mengejar pemuda kaya. Aku tidak peduli. Sampai saat ini aku tidak tahu mengapa mereka sangat membenciku. Apa aku pernah berbuat salah kepada mereka?
Pemuda itu bercerita tentang kerajaan impiannya yang indah dan damai. Ia pun memperlihatkan lukisan kerajaan itu. Kerajaan yang tidak akan lagi ada orang yang membicarakan kejelekan orang lain yang memanaskan telinga. Yang mengejutkan, Ia memintaku menjadi permaisuri kerajaannya.
Ia memberi tahuku sebuah rahasia bagaimana membangun kerajaan itu. Semua harus dibumihanguskan. Setelah itu baru dibangun kerajaan yang kuat, indah dan damai. Hanya itu jalan satu-satunya katanya.
Malam itu otakku dipenuhi impian akan kerajaan indah dimana aku menjadi permaisurinya. Ketika jam berdentang 12 kali, aku bangun. Aku mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk membangun kerajaan yang indah. Kutumpahkan minyak tanah yang ada di dalam kompor lalu kunyalakan api. Api semakin lama semakin besar, membakar habis rumahku. Aku memandanginya dari luar rumah. Api dengan cepat merembet dan membakar rumah-rumah yang lainnya. Semua orang sibuk memadamkan api, namun api sudah membesar.
“Masih ada orang di dalam rumah itu!” teriak seorang warga sambil menunjuk rumah pemuda rupawan itu.
Seketika itu juga kuteringat pemuda itu tidak bisa melihat. Lalu kuterjang api yang berkobar dan masuk ke dalam rumah pemuda itu.


SI JAGO MERAH BERAKSI

Semalam terjadi kebakaran pada pukul 12.30 WIB. Api diduga berasal dari rumah salah seorang warga. Api dengan cepat menyebar membakar puluhan rumah. Dalam kebakaran tersebut ditemukan dua jasad. Menurut saksi mata salah satu jasad adalah seorang pemuda dan yang satunya lagi perempuan. Perempuan itu masuk menerjang api yang berkobar ketika ada yang berteriak masih ada orang di dalam rumah yang terbakar. Kini kedua jasad tersebut sedang diautopsi. Sampai berita ini turun belum diketahui identitas kedua korban…..


Aku membaca Koran pagi ini sambil tersenyum.