Minggu, 19 Juni 2011

INTEGRALISME ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

Prolog

Kita telah melihat banyak problem yang dihadapi oleh umat islam yang perlu dipecahkan dengan sungguh-sungguh di zaman sekarang. Mulai dari masalah ukhuwah islamiyah yang masih rentan sampai masalah kepemimpinan dan keberanian berkurban, ada celah-celah yang pantas segera kita benahi lewat islam aktual. Glasnost, perestroika, globalisasi dan semacamnya adalah input bagi umat Islam untuk mengadakan perbaikan dan perubahan-perubahan mendesak dan perlu.

Perkembangan dalam bidang transportasi dan komunikasi yang begitu cepat menjadikan dunia seperti sebuah desa yang besar. Negara seperti tetangga sebelah rumah. Bagaimanapun juga, kita harus ingat, khususnya di sebuah dunia seperti ini yang eksistensi nasional bisa dipatenkan dengan menjaga setiap karakteristik spesifik sebuah Negara.

To serve the country in particular, and humanity in general through education. I called it to help the state educate and raise people by opening school. Ignorance is defeated through education; poverty through work and the possession of capital; and internal schism and separatism through unity, dialogue, and tolerance. However, as every problem in human life ultimately depends on human beings themselves, education is the most effective vehicle regardless of whether we have a paralyzed social and political system or one operating with a clockwork precision.[1]

Manusia adalah makhluk yang dibekali akal yang membedakannya dari makhluk yang lainnya (hewan dan tumbuhan). Setiap manusia memiliki potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi tersebut perlu dikembangkan dan dibimbing oleh orang yang mengerti akan bakat tersebut dan dapat membimbingnya. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia pun dituntut untuk selangkah lebih maju dari sebelumnya. Perkembangan dan adanya perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman memiliki corak dan ciri yang berbeda. Kondisi yang demikian cenderung memacu manusia untuk selalu berpikir.

Untuk menghadapi perkembangan zaman tersebut, manusia perlu dididik. Pendidikan sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses atau usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagi makhluk individu dan makhluk sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan bagi Freire merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan (Freire, 2002: 12-13). Oleh karena manusia sebagai pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat.

Pendidikan

Menurut Plato di dalam sebuah Negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh Negara. Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang –orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat , dan juga akan menyadari apa yang patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again).

Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan kemampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia akan menjadi seorang warga Negara yang baik, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai seorang anggota kelasnya. [2]

Bahkan menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akar semata-mata akan tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarah diri kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu. Aristoteles mengemukakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan, manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-fungsi organisme itu, dan segala yang ada di alam.[3]

Pentingnya peran pendidikan dalam membentuk manusia yang siap menghadapi perubahan tidak hanya kaum filosof Yunani yang memperhatikan tapi juga agama Islam. Sejak awal di turunkannya Al-Quran kepada Nabi Muhammad, yaitu surat al-‘alaq yang isinya memerintahkan manusia untuk membaca (belajar) menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting.

Di Indonesia sendiri, banyak tokoh yang menaruh perhatian lebih dalam bidang pendidikan. Seperti KH Ahmad Dahlan yang tidak segan-segan meniru metode pembelajaran Barat (mengggunakan bangku dan meja) demi berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan pendidikan tersebut tidak hanya untuk kalangan ningrat saja.

Di Jawa Barat sosok Dewi Sartika begitu menonjol. Beliau memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita yang pada saat itu tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi dan hanya kalangan bangsawan saja yang dapat memperoleh pendidikan. Beliau mendirikan sekolah khusus perempuan.

Para pejuang pendidikan tersebut, memperjuangkan pendidikan di Indonesia dengan tujuan menciptakan generasi muda yang siap mmenghadapi tantangan zaman sehingga tidak tertinggal dari Negara-negara maju.

Integralisme Islam

Sebenarnya sudah sekitar satu setengah abad, pembaruan dirasakan oleh kaum muslim sebagai sebuah keharusan. Dalam abad 19, pada saat “tantangan” Eropa menunjukkan keluasan yang sebenarnya, sebuah arus “pembaru” sebenarnya muncul dalam hampir semua masyarakat muslim. Bagi banyak intelektual dan pemimpin saat itu, sikap-sikap kaum muslim harus berubah. Konsepsi-konsepsi dominan yang menentukan dunia mental kaum muslim jelas telah kehilangan relevansi, atau terlihat tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan mendalam yang dialami pada masa itu. Ringkasnya, sintesis yang unggul pada islam pra modern telah kehilangan alas keberadaannya.[4]

Sudah tiba saatnya umat islam tak hanya jadi penonton tapi pemain yang bergulat dengan segala macam problem dunia. Mampukah umat islam tampil kembali sebagaimana zaman keemasan zaman dulu? Sudah siapkah kita untuk memimpin dunia?

Pada masa keemasan Islam banyak cendikiawan muslim lahir. Ada ahli kedokteran, ahli ilmu falak, filosuf, faqih, dan lain-lain. Bahkan sosok Ibnu Rusyd tidak hanya dilihat sebagai figure monolitik dan filsuf saja tapi juga sebagai seorang faqih, dokter, sekaligus mistikus. Pertanyaannya adalah pendidikan seperti apa yang diterapkan pada masa itu sehingga seorang Ibnu Rusyd tidak hanya ahli dalam filsafat namun juga seorang faqih, ahli ilmu kedokteran, mistikus dan figure monolitik.

Perlu ada integrasi antara Islam dan pendidikan serta ilmu-ilmu lain. Sehingga Islam tidak hanya dipahami substansinya saja tapi juga kaitannya dengan konteks kekinian yang kian berkembang.

Umat islam dihadapkan pada kenyataan bahwa barat jauh lebih maju di bidang intelektual dan teknologi, dan karenanya sangat sulit bagi islam untuk menghindari pengaruh-pengaruhnya. Sejarah telah memaksa umat islam untuk menerima dan kemudian meniru cara-cara bagaimana barat dapat maju. Dalam hubungan ini, islam modernis untuk beberapa hal dapat memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya westernisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang laik ditiru untuk ekmajuan masyarakat islam adalah barat. Di samping itu, kaum modernis banyak mengembangkan tema sentral yang menjadi persoalan masyarakat barat, dan kemudian dianggap begitu saja sebagai persoalan dalam masyarakat muslim.

Peniruan kepada barat yang menjadi ciri modernisme islam, bukannya tanpa ketegangan. Psikologi modernisme islam dilatarbelakangi oleh situasi ini, sehingga bisa dimaklumi jika sebagian besar pemikirannya jarang berifat “ideologis” dalam karakter apologetic. Banyak kemajuan barat ditirunya dan dicari pembenarannya di dalam doktrin islam. Misalnya pemikiran bahwa islam sangat menjunjung tinggi kemampuan akal, berpikir, etos kerja, kemampuan akal, ilmu pengetahuan empiris, demokrasi, emansipasi wanita dan sebagainya. Hasil nyata dari respon modernis terhadap kemajuan barat harus diakui tidaklah sedikit, terutama di bidang pendidikan.[5]

Epilog

Perkembangan dan Pembaharuan pendidikan Islam

Pembaruan dalam Islam didorong oleh kesadaran yang mendalam akan kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kebodohan dan keterbelakangan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu mata rantai penyebab kemunduran umat Islam yang harus ditanggulangi melalui Pembaharuan Pendidikan islam untuk mengejar ketinggalan sehingga pada suatu saat nanti umat Islam mampu tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan masyarakat internasional yang sudah maju bahkan jika memungkinkan mengambil panji-panji kejayaan muslim masa lampau meski memerlukan waktu amat panjang.

Pembaharuan Pendidikan islam setidak-tidaknya mencakup perbaikan kurikulum dan orientasinya, metodologi belajar-mengajar dan pembaharuan kelembagaan.[6]

Lembaga pendidikan Islam perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan modern. Misalnya, Madrasah-madrasah tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja tapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, terciptalah ahli-ahli Islam dalam bidang IPTEK. Yang mereka inilah akan membawa umat Islam kepada kemajuan dan kejayaan (seperti sosialisasi pemerintah melalui media televise tentang madrasah). Dengan demikian siswa/pelajar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan-kebutuhan zaman modern. Deemikianlah berbagai upaya memajukan umat Islam melalui berbagai cara membaharui pendidikan Islam dalam segala aspek.



[1] M. Fethullah Gulen, Essay-Perspektif-Opinion,(Turkey: Tughra Books, 2009), h.87

[2] Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997), h.63

[3] Ibid, h. 64-65

[4] Abdou Silali-Ansray, Pembaruan Islam: dari mana dan hendak ke mana, (Bandung: Mizan, 2009), h. 296-297)

[5] Saiful Muzani, Modernisasi dalam Neo-modernisme islam, (Prisma, Maret 1991)

[6] Moh Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Tangerang: PT Mitra Cahaya Utama, 2008), h.122-123

Ayah Misterius

Judul Buku : Daddy-Long-Legs

Penulis : Jean Webster

Penerbit : Atria

Tahun Terbit : 2009

Halaman : 235

Jerusha Abbott, protagonis dari Jean Webster Daddy-Long-Legs, menulis surat-surat untuk pelindungnya, bervariasi dari yang lucu sampai serius. Dalam salah satu surat, Jerusha menulis:

Anda tidak pernah menjawab pertanyaan saya dan itu sangat penting. APAKAH ANDA botak? Saya telah merencanakan seperti apa Anda terlihat-sangat memuaskan-sampai aku mencapai puncak kepala Anda dan kemudian saya terjebak. Saya tidak dapat memutuskan apakah Anda memiliki rambut putih atau rambut hitam atau semacam rambut abu-abu sprinkly atau mungkin tidak sama sekali. Berikut ini adalah potret Anda. Tapi masalahnya adalah, aku akan tambahkan beberapa helai rambut?

Novel ini merupakan novel terjemahan karya Alice Jane Chadler Webster dengan judul yang sama, Daddy-Long-Legs. Novel ini berkisah tentang seorang gadis yang bernama Jerusha Abbott (Judy) yang sudah mencapai usia kadaluarsa di Panti Asuhan John Grier. Berarti, ia tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di panti asuhan itu lagi. Pada saat itu datanglah seorang dewan pengawas Panti Asuhan John Grier yang menawarkan kesempatan kepada Judy untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Namun dewan pengawas tersebut meminta satu syarat yaitu, Judy harus menulis surat kepadanya setiap bulan. Dewan pengawas tersebut tidak ingin identitasnya diketahui. Judy sempat melihatnya dari jarak jauh. Dewan pengawas tersebut memiliki tungkai kaki yang panjang, mirip laba-laba, sehingga Judy menyebutnya “Daddy-Long-Legs”. Kehidupan Judy di perguruan tinggi penuh dengan warna yang belum pernah ia lihat ataupun ia rasakan di panti. Ia mempunyai banyak teman, mempelajari banyak hal di perkuliahan, pesta, dan persahabatan dengan Jervis Pendleton. Dengan adanya begitu banyak hal yang terjadi dalam hidupnya, Judy hamper tidak bisa berhenti menulis.

Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. dengan sudut pandang ini, pembaca dibawa masuk ke dalam cerita melalui tokoh utama, Judy dan turut merasakan emosi tokoh utama. Alur yang digunakan adalah alur maju sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh tokoh utama. Bentuk penceritaan juga cukup unik. Di awal cerita, tidak ada beda dengan novel lain. Namun selanjutnya cerita yang ditampilkan berupa surat yang Judy kirim kepada dewan pengawas tentang semua hal yang ia alami di perguruan tinggi, terutama tentang prestasi Judy. Judy lebih sering menceritakan perasaannya dibandingkan dengan prestasinya.

Gaya penceritaan ini unik namun terkesan monoton karena emosi yang ditamppilkan hanya dari tokoh utama saja atau melalui penggambaran tokoh utama. Jadi seperti membaca diari atau buku harian orang lain. Kita seperti terperangkap dalam perspektif tokoh utama. Dan tidak bisa melihat hal lain selain yang dilihat dan dirasakan oleh tokoh utama. Secara keseluruhan novel ini memberikan nilai moral akan rasa terimakasih dan tanggung jawab atas apa yang telah kita dapatkan dengan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Novel ini sangat cocok untuk remaja karena memberikan alternatif bacaan lain yang sekarang ini banyak mengangkat tema percintaan.

Tema buku ini merefleksikan kepentingan Webster dalam pekerjaan sosial dan hak pilih perempuan yang pada tahun 1900-an hanya dimiliki oleh kaum laki-laki sehingga banyak karya yang terinspirasi dari novel Jean Webster ini, di antaranya:

Rabu, 15 Juni 2011

Dunia Kang Ouw dalam Sastra Indonesia “Rajawali Lembah Huai” Oleh: Mayang Maharani

Dalam buku Prof. Dr. Rachmat joko Pradopo (2007: 57), mengutip Teeuw bahwa tak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya, begitu juga Kesusastraan Indonesia Modern merupakan respon atau tanggapan terhadap Kesusastraan Indonesia lama. Dunia Kang Ouw dalam cerita silat Ko Ping Ho yang menjadi budaya masyarakat Tionghoa, bukanlah benar-benar hal yang baru dalam sastra Indonesia.

Pada awal abad ke-20 kaum Tionghoa/peranakan Indo-Tionghoa telah memperkenalkan genre sastra Melayu Tionghoa. Pada awal munculnya genre sastra Melayu Tionghoa tidaklah terlalu banyak dikenal karena sebagian besar karya mereka rata-rata merupakan bacaan liar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Rendah/Melayu pasar yang ceritanya cenderung bersifat menghibur. Latar budaya yang dalam cerita tersebut adalah budaya Tionghoa. Seperti dalam cerita Bunga Ros dari Tjikembang karya Kwe Tek Hoay yang bercerita tentang percintaan antara keturunan Tionghoa, Oh Ay Tjeng dengan orang pribumi, Marsiti yang sangat kental menampilkan budaya Tionghoa. Walaupun latar tempat adalah daerah Jawa Barat namun adat dan kebiasaan masyarakat Tionghoa ditampilkan melalui percakapan para tokoh maupun perbuatannya.

Jika kita telusuri perkembangan tema sastra Indonesia terutama atau khususnya dalam karya fikasi akan terlihat bahwa sejak tahap-tahap permulaan perkembangan sastra Indonesia Modern, yakni sekitar tahun dua puluhan, tema-tema pokok yang muncul adalah tentang realisme formal, yaitu gambaran kenyataan sosial tempat cerita itu bermain, yang tidak luput pula dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural dan sosio-politik yang ada dalam masyarakat di saat cerita itu berlangsung (Atar Semi, 1989: 71).

Ko Ping Ho muncul pada era 50-an yaitu setelah masa kemerdekaan. Masalah sosial yang diungkapkannya tersebar luas, segala masalah kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa menjadi tema-tema karyanya. Tema-tema yang dipilih terutama yang dirasa sebagai persoalan masyarakat, mencakup masalah manusia pada umunya, seperti masalah cinta kasih, pengabdian, kemiskinan, keagamaan, serta masih adanya semangat kebangsaan melawan penjajah pasca kemerdekaan.

Masih dalam buku Rachmat joko Pradopo (2007: 67) bahwa pada perkembangan selanjutnya, tampak arus baru dalam prosa yang menunjukkan ciri-ciri internasional atau universal dengan tampilnya karya satra yang menunjukkan unsur atau gaya universal. Sifat atau ciri-ciri yang menunjukkan universalisme itu berupa gaya bercerita, gaya bahasa, maupun latar tempat dan sosial budayanya. Berhubung mengenai tempat yang menjadi latar cerita di luar Indonesia telah di mulai pada tahun 1930-an yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka.

Ko Ping Ho: Mengajarkan Kebaikan Melalui Karyanya

Tak satu pun penggemar cerita silat di Indonesia yang tak kenal nama Asmaraman S Kho Ping Hoo. Namanya sering disandingkan dengan Gan Kok Liang (Gan KL), Oey Kim Tiang (OKT), atau Tjan Ing Djiu (Tjan ID). Benar, sederet nama itu adalah penulis-penulis cerita silat terkenal pada era 1950-an. Kini pun nama-nama mereka masih bergaung lewat penerbitan ulang karya-karya mereka.

Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL dan OKT, Ping Hoo tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Meskipun Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan tahun-tahun dinastinya. Ketertarikannya pada dunia persilatan tidak lepas dari peran sang ayah yang mengajarkannya silat sejak kecil.

Seperti kebanyakan cerita buah tangan peranakan Tionghoa, narator dalam cerita banyak memberikan petuah. Baik petuah yang berasal dari narator sendiri maupun melalui tokoh.

Kebaikan adalah suatu sifat dari seseorang, seperti harum setangkai bunga, seperti kicau seekor burung, sifat dari seseorang yang tidak dikuasai nafsu pada saat melakukannya. Kalau hati terisi kasih sayang, maka akan muncul kebaikan dalam semua perbuatannya terhadap orang yang dikasihi. (h. 6)

Ciri khas ini yang begitu kuat terlihat dalam cerita. Narator benar-benar membedakan mana yang baik dan yang buruk. Tidak ada yang abu-abu. Petuah-petuah yang disampaikan oleh narator adalah petuah-petuah tentang kehidupan, tentang kebaikan hati dan kasih sayang.

Jejak Pascakolonialisme dalam Rajawali Lembah Huai

Munculnya cerita silat karya peranakan Tionghoa ini mewarnai dunia kesusastraan Indonesia. Dengan latar belakang Ko Ping Ho yang merupakan peranakan Indo-Tionghoa, ia mengangkat cerita dengan latar tempat di Tiongkok. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut

Penjajahan seperti tercatat di dalam sejarah negara manapun di permukaan bumi ini, tidak pernah mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat bangsa yang dijajah. Biarpun sudah menjajah Cina hampir seabad lamanya (1280-1368), kerajaan Goan-tiauw, yaitu bangsa Mongol, tidak pernah membahagiakan sebagian besar rakyat Cina. (h. 1)

Pada era 50-an jejak-jejak kolonialisme masih terasa. Hal ini berpengaruh pada karya-karya yang hasilkan pada era tersebut. Terutama pada karya Rajawali Lembah Huai, sangat terasa nuansa kolonialisme yang menjadi latar suasana cerita ini. Hal ini juga bias dilihat dari kutipan cerita di atas.

Postcolonial studies. The critical analysis of the history, culture, literature and modes of discourse that specific to the former colonies and other imperial power. (Abrams, 2005: 379)

Poskolonial cenderung memperhatikan isu-isu perbedaan budaya dalam teks sastra dan satu dari beberapa pencapaian kritik adalah kita sudah mengetahui fokus pada isu yang spesifik.

Kedudukan masyarakat Tionghoa dijelaskan pula dalam cerita. Hubungan antara penjajah (Bangsa Mongol) dan pribumi (masyarakat Tionghoa) berada dalam garis vertical, dimana penjajah berada pada posisi paling tinggi, lalu masyarakat Tionghoa yang memiliki kedudukan/kekuasaan, dan yang terakhir adalah masyarakat pribumi yang miskin.

Yang makmur hanyalah orang-orang yang memperoleh kedudukan di pemerintahan, baik dia bangsa Mongol sendiri maupun bangsa pribumi yang setelah mendapatkan kedudukan lalu melupakan bangsanya sendiri, bahkan menjadi pemeras bangsanya sendiri demi kesenangan diri pribadi. (h. 1)

Kolonialisme sangat terlihat sekali, dengan latar masa penjajahan yang kuat, dimana yang memiliki kekuasaan dan kekayaan dapat berbuat sewenang-wenang. Representasi kolonialisme ini terlihat dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu Cu Goan Ciang dan para pejabat.

Siauw Cu lalu menceritakan keadaan dirinya, betapa keluarganya habis binasa oleh wabah penyakit, dan betapa dia hidup sebatang kara di dunia ini, kemudian bekerja pada Lurah Koa dan terjadi peristiwa perkelahian dengan kedua putera lurah itu.

“Sungguh, losuhu. Bagaimana mungkin teecu (murid) berani melawan kedua orang putera lurah majikan teecu itu kalau saja teecu tidak terancam bahaya maut. Mereka memukuli dan menendangi teecu dan sekiranya teecu tidak akan membela diri dan melawan, tentu mereka akan membunuh teecu,” demikian dia mengakhiri ceritanya.

Tokoh utama yaitu Cu Goan Ciang digambarkan sebagai anak yatim piyatu yang telah mengalami tempaan hidup sejak kecil sehingga menjadi pribadi yang tangguh dan gagah. Masa lalunya yang kelam, membuatnya membenci penjajah yang telah menyebabkan ayah-ibunya meninggal dan penderitaan pada rakyat. Pandangan ini didasarkan pada keadaan masyarakat Tionghoa pada waktu itu berada di bawah garis kemiskinan ditambah perlakuan kasar dari penjajah dan orang-orang yang mmemanfaatkan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas rakyat miskin.

Budaya Tionghoa yang begitu kental ditampilkan dengan nama-nama tokoh, tempat, nama jurus dan lain-lain menggunakan bahasa Tionghoa. Selain itu ditampilkannya pula keberadaan Kang Ouw (perkumpulan silat) dalam cerita yang menguatkan latar tempat.

Keberadaan kang ouw di Tionghoa terbagi 3 yaitu, propemerintah (Bangsa mongol), antipemerintah (pejuang), dan netral (tidak memihak, namun mencari keuntungan pribadi). Dengan adanya perbedaan ini maka tidak jarang terjadi bentrok antar kang ouw yang berbeda haluan. Kedudukan kaum kang ouw berada di antara pemerintah dan masyarakat miskin. Seorang tiran takut pada rakyat yang ditindasnya, begitupun Bangsa Mongol. Banyak muncul pemberontakan terhadap pemerintah karena kesewenang-wenangan yang mereka lakukan terhadap rakyat.

Analisis poskolonial terhadap karya Rajawali Lembah Huai yang dibuat pascakemerdekaan meninggalkan jejak-jejak yang nyata. Pengaruh kolonialisme masih terasa kuat dan semangat perjuangan menentang penjajah. Penganbilan latar masa penjajahan di Tiongkok memberikan penekanan bahwa penjajahan dimanapun, dalam bentuk apappun mengakibatkan kesengsaraan di pihak minoritas dan mengobarkan semangat juang rakyat yang ingin mengusir penjajah.

Daftar Pustaka

Pradopo, Rachmat Joko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa

Abrams, M.H. 2005. A Glossary of Literary Terms. Boston: Wadsworth Cengange Learning

Barry, Peter. 2002. Beginning Theory: An Introduction to literary and cultural theory. Manchester: Manchester University Press