بسم الله الرحمن الرحيم
Prolog
Kita telah melihat banyak problem yang dihadapi oleh umat islam yang perlu dipecahkan dengan sungguh-sungguh di zaman sekarang. Mulai dari masalah ukhuwah islamiyah yang masih rentan sampai masalah kepemimpinan dan keberanian berkurban, ada celah-celah yang pantas segera kita benahi lewat islam aktual. Glasnost, perestroika, globalisasi dan semacamnya adalah input bagi umat Islam untuk mengadakan perbaikan dan perubahan-perubahan mendesak dan perlu.
Perkembangan dalam bidang transportasi dan komunikasi yang begitu cepat menjadikan dunia seperti sebuah desa yang besar. Negara seperti tetangga sebelah rumah. Bagaimanapun juga, kita harus ingat, khususnya di sebuah dunia seperti ini yang eksistensi nasional bisa dipatenkan dengan menjaga setiap karakteristik spesifik sebuah Negara.
To serve the country in particular, and humanity in general through education. I called it to help the state educate and raise people by opening school. Ignorance is defeated through education; poverty through work and the possession of capital; and internal schism and separatism through unity, dialogue, and tolerance. However, as every problem in human life ultimately depends on human beings themselves, education is the most effective vehicle regardless of whether we have a paralyzed social and political system or one operating with a clockwork precision.[1]
Manusia adalah makhluk yang dibekali akal yang membedakannya dari makhluk yang lainnya (hewan dan tumbuhan). Setiap manusia memiliki potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi tersebut perlu dikembangkan dan dibimbing oleh orang yang mengerti akan bakat tersebut dan dapat membimbingnya. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia pun dituntut untuk selangkah lebih maju dari sebelumnya. Perkembangan dan adanya perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman memiliki corak dan ciri yang berbeda. Kondisi yang demikian cenderung memacu manusia untuk selalu berpikir.
Untuk menghadapi perkembangan zaman tersebut, manusia perlu dididik. Pendidikan sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses atau usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagi makhluk individu dan makhluk sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan bagi Freire merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan (Freire, 2002: 12-13). Oleh karena manusia sebagai pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat.
Pendidikan
Menurut Plato di dalam sebuah Negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh Negara. Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang –orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat , dan juga akan menyadari apa yang patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again).
Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan kemampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia akan menjadi seorang warga Negara yang baik, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai seorang anggota kelasnya. [2]
Bahkan menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akar semata-mata akan tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarah diri kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu. Aristoteles mengemukakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan, manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-fungsi organisme itu, dan segala yang ada di alam.[3]
Pentingnya peran pendidikan dalam membentuk manusia yang siap menghadapi perubahan tidak hanya kaum filosof Yunani yang memperhatikan tapi juga agama Islam. Sejak awal di turunkannya Al-Quran kepada Nabi Muhammad, yaitu surat al-‘alaq yang isinya memerintahkan manusia untuk membaca (belajar) menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting.
Di Indonesia sendiri, banyak tokoh yang menaruh perhatian lebih dalam bidang pendidikan. Seperti KH Ahmad Dahlan yang tidak segan-segan meniru metode pembelajaran Barat (mengggunakan bangku dan meja) demi berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan pendidikan tersebut tidak hanya untuk kalangan ningrat saja.
Di Jawa Barat sosok Dewi Sartika begitu menonjol. Beliau memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita yang pada saat itu tidak dapat mengenyam pendidikan yang tinggi dan hanya kalangan bangsawan saja yang dapat memperoleh pendidikan. Beliau mendirikan sekolah khusus perempuan.
Para pejuang pendidikan tersebut, memperjuangkan pendidikan di Indonesia dengan tujuan menciptakan generasi muda yang siap mmenghadapi tantangan zaman sehingga tidak tertinggal dari Negara-negara maju.
Integralisme Islam
Sebenarnya sudah sekitar satu setengah abad, pembaruan dirasakan oleh kaum muslim sebagai sebuah keharusan. Dalam abad 19, pada saat “tantangan” Eropa menunjukkan keluasan yang sebenarnya, sebuah arus “pembaru” sebenarnya muncul dalam hampir semua masyarakat muslim. Bagi banyak intelektual dan pemimpin saat itu, sikap-sikap kaum muslim harus berubah. Konsepsi-konsepsi dominan yang menentukan dunia mental kaum muslim jelas telah kehilangan relevansi, atau terlihat tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan mendalam yang dialami pada masa itu. Ringkasnya, sintesis yang unggul pada islam pra modern telah kehilangan alas keberadaannya.[4]
Sudah tiba saatnya umat islam tak hanya jadi penonton tapi pemain yang bergulat dengan segala macam problem dunia. Mampukah umat islam tampil kembali sebagaimana zaman keemasan zaman dulu? Sudah siapkah kita untuk memimpin dunia?
Pada masa keemasan Islam banyak cendikiawan muslim lahir. Ada ahli kedokteran, ahli ilmu falak, filosuf, faqih, dan lain-lain. Bahkan sosok Ibnu Rusyd tidak hanya dilihat sebagai figure monolitik dan filsuf saja tapi juga sebagai seorang faqih, dokter, sekaligus mistikus. Pertanyaannya adalah pendidikan seperti apa yang diterapkan pada masa itu sehingga seorang Ibnu Rusyd tidak hanya ahli dalam filsafat namun juga seorang faqih, ahli ilmu kedokteran, mistikus dan figure monolitik.
Perlu ada integrasi antara Islam dan pendidikan serta ilmu-ilmu lain. Sehingga Islam tidak hanya dipahami substansinya saja tapi juga kaitannya dengan konteks kekinian yang kian berkembang.
Umat islam dihadapkan pada kenyataan bahwa barat jauh lebih maju di bidang intelektual dan teknologi, dan karenanya sangat sulit bagi islam untuk menghindari pengaruh-pengaruhnya. Sejarah telah memaksa umat islam untuk menerima dan kemudian meniru cara-cara bagaimana barat dapat maju. Dalam hubungan ini, islam modernis untuk beberapa hal dapat memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya westernisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang laik ditiru untuk ekmajuan masyarakat islam adalah barat. Di samping itu, kaum modernis banyak mengembangkan tema sentral yang menjadi persoalan masyarakat barat, dan kemudian dianggap begitu saja sebagai persoalan dalam masyarakat muslim.
Peniruan kepada barat yang menjadi ciri modernisme islam, bukannya tanpa ketegangan. Psikologi modernisme islam dilatarbelakangi oleh situasi ini, sehingga bisa dimaklumi jika sebagian besar pemikirannya jarang berifat “ideologis” dalam karakter apologetic. Banyak kemajuan barat ditirunya dan dicari pembenarannya di dalam doktrin islam. Misalnya pemikiran bahwa islam sangat menjunjung tinggi kemampuan akal, berpikir, etos kerja, kemampuan akal, ilmu pengetahuan empiris, demokrasi, emansipasi wanita dan sebagainya. Hasil nyata dari respon modernis terhadap kemajuan barat harus diakui tidaklah sedikit, terutama di bidang pendidikan.[5]
Epilog
Perkembangan dan Pembaharuan pendidikan Islam
Pembaruan dalam Islam didorong oleh kesadaran yang mendalam akan kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kebodohan dan keterbelakangan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu mata rantai penyebab kemunduran umat Islam yang harus ditanggulangi melalui Pembaharuan Pendidikan islam untuk mengejar ketinggalan sehingga pada suatu saat nanti umat Islam mampu tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan masyarakat internasional yang sudah maju bahkan jika memungkinkan mengambil panji-panji kejayaan muslim masa lampau meski memerlukan waktu amat panjang.
Pembaharuan Pendidikan islam setidak-tidaknya mencakup perbaikan kurikulum dan orientasinya, metodologi belajar-mengajar dan pembaharuan kelembagaan.[6]
Lembaga pendidikan Islam perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan modern. Misalnya, Madrasah-madrasah tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja tapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, terciptalah ahli-ahli Islam dalam bidang IPTEK. Yang mereka inilah akan membawa umat Islam kepada kemajuan dan kejayaan (seperti sosialisasi pemerintah melalui media televise tentang madrasah). Dengan demikian siswa/pelajar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan-kebutuhan zaman modern. Deemikianlah berbagai upaya memajukan umat Islam melalui berbagai cara membaharui pendidikan Islam dalam segala aspek.
[1] M. Fethullah Gulen, Essay-Perspektif-Opinion,(Turkey: Tughra Books, 2009), h.87
[2] Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997), h.63
[3] Ibid, h. 64-65
[4] Abdou Silali-Ansray, Pembaruan Islam: dari mana dan hendak ke mana, (Bandung: Mizan, 2009), h. 296-297)
[5] Saiful Muzani, Modernisasi dalam Neo-modernisme islam, (Prisma, Maret 1991)
[6] Moh Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Tangerang: PT Mitra Cahaya Utama, 2008), h.122-123