Dalam buku Prof. Dr. Rachmat joko Pradopo (2007: 57), mengutip Teeuw bahwa tak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya, begitu juga Kesusastraan Indonesia Modern merupakan respon atau tanggapan terhadap Kesusastraan Indonesia lama. Dunia Kang Ouw dalam cerita silat Ko Ping Ho yang menjadi budaya masyarakat Tionghoa, bukanlah benar-benar hal yang baru dalam sastra Indonesia.
Pada awal abad ke-20 kaum Tionghoa/peranakan Indo-Tionghoa telah memperkenalkan genre sastra Melayu Tionghoa. Pada awal munculnya genre sastra Melayu Tionghoa tidaklah terlalu banyak dikenal karena sebagian besar karya mereka rata-rata merupakan bacaan liar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Rendah/Melayu pasar yang ceritanya cenderung bersifat menghibur. Latar budaya yang dalam cerita tersebut adalah budaya Tionghoa. Seperti dalam cerita Bunga Ros dari Tjikembang karya Kwe Tek Hoay yang bercerita tentang percintaan antara keturunan Tionghoa, Oh Ay Tjeng dengan orang pribumi, Marsiti yang sangat kental menampilkan budaya Tionghoa. Walaupun latar tempat adalah daerah Jawa Barat namun adat dan kebiasaan masyarakat Tionghoa ditampilkan melalui percakapan para tokoh maupun perbuatannya.
Jika kita telusuri perkembangan tema sastra Indonesia terutama atau khususnya dalam karya fikasi akan terlihat bahwa sejak tahap-tahap permulaan perkembangan sastra Indonesia Modern, yakni sekitar tahun dua puluhan, tema-tema pokok yang muncul adalah tentang realisme formal, yaitu gambaran kenyataan sosial tempat cerita itu bermain, yang tidak luput pula dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural dan sosio-politik yang ada dalam masyarakat di saat cerita itu berlangsung (Atar Semi, 1989: 71).
Ko Ping Ho muncul pada era 50-an yaitu setelah masa kemerdekaan. Masalah sosial yang diungkapkannya tersebar luas, segala masalah kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa menjadi tema-tema karyanya. Tema-tema yang dipilih terutama yang dirasa sebagai persoalan masyarakat, mencakup masalah manusia pada umunya, seperti masalah cinta kasih, pengabdian, kemiskinan, keagamaan, serta masih adanya semangat kebangsaan melawan penjajah pasca kemerdekaan.
Masih dalam buku Rachmat joko Pradopo (2007: 67) bahwa pada perkembangan selanjutnya, tampak arus baru dalam prosa yang menunjukkan ciri-ciri internasional atau universal dengan tampilnya karya satra yang menunjukkan unsur atau gaya universal. Sifat atau ciri-ciri yang menunjukkan universalisme itu berupa gaya bercerita, gaya bahasa, maupun latar tempat dan sosial budayanya. Berhubung mengenai tempat yang menjadi latar cerita di luar Indonesia telah di mulai pada tahun 1930-an yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka.
Ko Ping Ho: Mengajarkan Kebaikan Melalui Karyanya
Tak satu pun penggemar cerita silat di Indonesia yang tak kenal nama Asmaraman S Kho Ping Hoo. Namanya sering disandingkan dengan Gan Kok Liang (Gan KL), Oey Kim Tiang (OKT), atau Tjan Ing Djiu (Tjan ID). Benar, sederet nama itu adalah penulis-penulis cerita silat terkenal pada era 1950-an. Kini pun nama-nama mereka masih bergaung lewat penerbitan ulang karya-karya mereka.
Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL dan OKT, Ping Hoo tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Meskipun Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan tahun-tahun dinastinya. Ketertarikannya pada dunia persilatan tidak lepas dari peran sang ayah yang mengajarkannya silat sejak kecil.
Seperti kebanyakan cerita buah tangan peranakan Tionghoa, narator dalam cerita banyak memberikan petuah. Baik petuah yang berasal dari narator sendiri maupun melalui tokoh.
Kebaikan adalah suatu sifat dari seseorang, seperti harum setangkai bunga, seperti kicau seekor burung, sifat dari seseorang yang tidak dikuasai nafsu pada saat melakukannya. Kalau hati terisi kasih sayang, maka akan muncul kebaikan dalam semua perbuatannya terhadap orang yang dikasihi. (h. 6)
Ciri khas ini yang begitu kuat terlihat dalam cerita. Narator benar-benar membedakan mana yang baik dan yang buruk. Tidak ada yang abu-abu. Petuah-petuah yang disampaikan oleh narator adalah petuah-petuah tentang kehidupan, tentang kebaikan hati dan kasih sayang.
Jejak Pascakolonialisme dalam Rajawali Lembah Huai
Munculnya cerita silat karya peranakan Tionghoa ini mewarnai dunia kesusastraan Indonesia. Dengan latar belakang Ko Ping Ho yang merupakan peranakan Indo-Tionghoa, ia mengangkat cerita dengan latar tempat di Tiongkok. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut
Penjajahan seperti tercatat di dalam sejarah negara manapun di permukaan bumi ini, tidak pernah mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat bangsa yang dijajah. Biarpun sudah menjajah Cina hampir seabad lamanya (1280-1368), kerajaan Goan-tiauw, yaitu bangsa Mongol, tidak pernah membahagiakan sebagian besar rakyat Cina. (h. 1)
Pada era 50-an jejak-jejak kolonialisme masih terasa. Hal ini berpengaruh pada karya-karya yang hasilkan pada era tersebut. Terutama pada karya Rajawali Lembah Huai, sangat terasa nuansa kolonialisme yang menjadi latar suasana cerita ini. Hal ini juga bias dilihat dari kutipan cerita di atas.
Postcolonial studies. The critical analysis of the history, culture, literature and modes of discourse that specific to the former colonies and other imperial power. (Abrams, 2005: 379)
Poskolonial cenderung memperhatikan isu-isu perbedaan budaya dalam teks sastra dan satu dari beberapa pencapaian kritik adalah kita sudah mengetahui fokus pada isu yang spesifik.
Kedudukan masyarakat Tionghoa dijelaskan pula dalam cerita. Hubungan antara penjajah (Bangsa Mongol) dan pribumi (masyarakat Tionghoa) berada dalam garis vertical, dimana penjajah berada pada posisi paling tinggi, lalu masyarakat Tionghoa yang memiliki kedudukan/kekuasaan, dan yang terakhir adalah masyarakat pribumi yang miskin.
Yang makmur hanyalah orang-orang yang memperoleh kedudukan di pemerintahan, baik dia bangsa Mongol sendiri maupun bangsa pribumi yang setelah mendapatkan kedudukan lalu melupakan bangsanya sendiri, bahkan menjadi pemeras bangsanya sendiri demi kesenangan diri pribadi. (h. 1)
Kolonialisme sangat terlihat sekali, dengan latar masa penjajahan yang kuat, dimana yang memiliki kekuasaan dan kekayaan dapat berbuat sewenang-wenang. Representasi kolonialisme ini terlihat dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu Cu Goan Ciang dan para pejabat.
Siauw Cu lalu menceritakan keadaan dirinya, betapa keluarganya habis binasa oleh wabah penyakit, dan betapa dia hidup sebatang kara di dunia ini, kemudian bekerja pada Lurah Koa dan terjadi peristiwa perkelahian dengan kedua putera lurah itu.
“Sungguh, losuhu. Bagaimana mungkin teecu (murid) berani melawan kedua orang putera lurah majikan teecu itu kalau saja teecu tidak terancam bahaya maut. Mereka memukuli dan menendangi teecu dan sekiranya teecu tidak akan membela diri dan melawan, tentu mereka akan membunuh teecu,” demikian dia mengakhiri ceritanya.
Tokoh utama yaitu Cu Goan Ciang digambarkan sebagai anak yatim piyatu yang telah mengalami tempaan hidup sejak kecil sehingga menjadi pribadi yang tangguh dan gagah. Masa lalunya yang kelam, membuatnya membenci penjajah yang telah menyebabkan ayah-ibunya meninggal dan penderitaan pada rakyat. Pandangan ini didasarkan pada keadaan masyarakat Tionghoa pada waktu itu berada di bawah garis kemiskinan ditambah perlakuan kasar dari penjajah dan orang-orang yang mmemanfaatkan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas rakyat miskin.
Budaya Tionghoa yang begitu kental ditampilkan dengan nama-nama tokoh, tempat, nama jurus dan lain-lain menggunakan bahasa Tionghoa. Selain itu ditampilkannya pula keberadaan Kang Ouw (perkumpulan silat) dalam cerita yang menguatkan latar tempat.
Keberadaan kang ouw di Tionghoa terbagi 3 yaitu, propemerintah (Bangsa mongol), antipemerintah (pejuang), dan netral (tidak memihak, namun mencari keuntungan pribadi). Dengan adanya perbedaan ini maka tidak jarang terjadi bentrok antar kang ouw yang berbeda haluan. Kedudukan kaum kang ouw berada di antara pemerintah dan masyarakat miskin. Seorang tiran takut pada rakyat yang ditindasnya, begitupun Bangsa Mongol. Banyak muncul pemberontakan terhadap pemerintah karena kesewenang-wenangan yang mereka lakukan terhadap rakyat.
Analisis poskolonial terhadap karya Rajawali Lembah Huai yang dibuat pascakemerdekaan meninggalkan jejak-jejak yang nyata. Pengaruh kolonialisme masih terasa kuat dan semangat perjuangan menentang penjajah. Penganbilan latar masa penjajahan di Tiongkok memberikan penekanan bahwa penjajahan dimanapun, dalam bentuk apappun mengakibatkan kesengsaraan di pihak minoritas dan mengobarkan semangat juang rakyat yang ingin mengusir penjajah.
Daftar Pustaka
Pradopo, Rachmat Joko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Abrams, M.H. 2005. A Glossary of Literary Terms. Boston: Wadsworth Cengange Learning
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory: An Introduction to literary and cultural theory. Manchester: Manchester University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar