Rabu, 15 Juni 2011

Aku

Rumah kecil di pinggir jalan yang dihiasi sedikit tanaman di halaman depan adalah rumah hasil jerih payahku selama 10 tahun bekerja. Sebelumnya aku mengontrak di rumah petak milik Pak Ali di daerah Ciputat, Tangerang. Aku sudah bekerja sejak lulus SMA. Tinggal sendirian tidak membuatku takut. Malah memberiku ruang ketenangan setelah penat seharian bekerja.

Rumah yang baru 1,5 bulan kutempati ini berdiri di samping sebuah rumah milik Ibu Rahma. Sebenarnya ada satu rumah yang membuatku penasaran. Rumah itu terletak persis di sebelah rumah ibu Rahma. Bukan karena rumah itu besar dan megah, tapi lebih karena penghuninya yang sampai saat ini belum ku ketahui siapa. Setiap malam kumendengar alunan piano yang indah setiap kali kumelintasi rumah itu sepulang bekerja.

“Apa sih maunya Pak Herman? Setiap hari, ada saja alasannya untuk memarahiku! Apa-apa aku. Semua salah aku. Memang hanya aku saja yang bekerja untuknya!”, batinku sesampainya di rumah.

Kubaringkan tubuhku yang basah dengan peluh di atas tempat tidur. Aku pun tertidur dengan lelap. Melupakan sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan hari ini dan menyambut hal-hal yang tidak menyenangkan esok hari.

“Apa kamu sudah bosan bekerja disini!”, bentak Pak Herman, “kerjaanmu nggak pernah beres! Selalu salah!”

“Maaf Pak, tapi semua surat yang datang pagi ini sudah saya letakkan di atas meja Bapak.”

“kalau sudah kamu letakkan di meja saya, pasti ada di sini!” bentaknya sambil memukul meja yang berada persis di sampingnya.

“Iya Pak, akan saya carikan surat-surat itu.”

“ya sudah! Apa yang kamu tunggu? Cari sekarang!”

Aku pun meninggalkan ruangan Pak Herman. Mencari surat-surat yang ntah bagaimana bisa lenyap dari meja Pak Herman. Padahal aku yakin sudah meletakkannya di sana pagi ini.

“Kenapa? Dibentak Pak Herman lagi? Gara-gara surat-suratnya nggak ada di mejanya?” Tanya Bella

“Dari mana kamu tahu tentang surat-surat itu?” tanyaku “jangan-jangan kamu yang mengambilnya?!”

“Mungkin ya, mungkin tidak..”

“Kembalikan surat-surat itu sekarang!”

“Wu… aku takut..”

“Kembalikan surat-surat itu SEKARANG!”

“Aku akan mengembalikannya, tapi jauhi Pak Herman!”

“Terserah, kembalikan surat-surat itu!”

“Nih ambil!” sambil melempar surat-surat itu ke lantai

Heran. Kenapa Bella bisa cemburu kepadaku? Bukankah setiap hari aku selalu dibentak oleh Pak Herman. Apa karena aku sekretarisnya? Lagipula kalau dia mau, ambil saja aku tidak peduli.

Setiap sore ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahku berkumpul memperbincangkan hal-hal yang tidak penting yang sebenarnya bukan urusan mereka. Sore ini, ketika pilang bekerja, kumendengar mereka membicarakan kematian ayahku yang mendadak ketika pulang bekerja. Mereka menduga aku yang meracuninya. Bagaimana mungkin aku yang melakukannya. Pada saat itu aku sedang berada di kantor. Lalu ku maki saja mereka semua. Mereka semua lari dan selama tiga hari berikutnya, tanpa komando tidak ada perkumpulan tidak berguna itu. Memang hubunganku dengan ayah tidaklah baik. Kami kerap kali bertengkar. Namun aku toh, aku tidak membuangnya atau menitipkannya di panti jompo. Aku ingin berbakti kepadanya, karena aku mencintainya sebagai satu-satunya orang tua yang aku kenal.

Menjadi anak tunggal, membuatku menyukai anak-anak. Tapi entah sejak kapan aku jadi membenci anak-anak. Mereka selalu membuatku kesal. Mencabuti tanaman yang kupelihara dengan baik. Bahkan mereka sering melempari rumahku dengan batu atau kerikil, yang terkadang membuat kaca rumahku pecah. Dan ketika kuminta ganti rugi kepada orang tua mereka. Semuanya bergeming. Aku yakin pasti didikan orang tua mereka yang suka mencampuri urusan orang lain.

Hanya ibu Rahma yang mengertiku. Ia adalah ibuku. Bukan ibu kandung karena aku tak mengenal ibu. Ayah tidak pernah menjawab setiap kali ku bertanya tentang ibu. Malah seringkali menyulut api pertengkaran antara kami. Maka sampai sekarang aku tidak ibu. Ibu Rahma tempatku mencurahkan segalanya. Sampai hari ini.

“Nak, Ibu dipindahtugaskan ke daerah Bantul Jogjakarta. Ibu berangkat minggu depan. Dan rumah ini akan ibu jual, besok penghuni baru akan datang melihat rumah ini.”

“kok, begitu tiba-tiba? Apa Ibu akan meninggalkanku sendirian disini? Apa Ibu sudah tidak sayang lagi padaku?”

“Bukan begitu Nak. Kamu tahu, Ibu bekerja di lembaga sosial dan harus siap di tempatkan dimana saja. Ibu juga sudah tidak punya siapa-siapa selain kamu. Ibu janji akan sering menghubungimu dan datang untuk menjengukmu disini”

Dengan berat hati kumelepas kepergian Ibu Rahma. Dia yang selalu membelaku di saat ku terpojok oleh keadaan. Mengangkatku saat ku terjatuh. Mengingatkanku di saat ku salah. Namun kupegang janji Ibu Rahma.

Seminggu kemudian, sepulang kerja, tidak seperti biasanya, aku ingin menonton siaran televisi. Di salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan berita kecelakaan lalu lintas di daerah pantura. Sebuah bis terguling ke pinggir jalan dan tidak ada seorang penumpang pun yang selamat. Dan salah satu korbannya adalah Ibu Rahma.

Entah skenario apa yang Tuhan berikan padaku untuk ku perankan. Mungkin Tuhan tidak senang membuatku bahagia. Semua kebahagiaanku dirampas secara paksa. Laksana seorang anak yang sedang bermain dengan mainan barunya lalu dirampas begitu saja. Kepergian Ibu Rahma sangat membuatku terpuruk. Ku tak menyangka. Aku jatuh sakit. Tidak masuk kerja selama 2 hari. Tidak ada seorang pun dating menjenguk. Kecuali Pak Herman yang menelpon menanyakan keadaanku dan kapan aku bisa kembali bekerja. Ku yakin, dia pasti kehilangan boneka yang biasa ia marahi.

Sudah 2 hari aku tergeletak. Perutku juga belum terisi apapun. Maka ku paksakan diri untuk keluar membeli makanan. Ketika melintas rumah besar itu, ku melihat seorang pemuda sedang duduk di kursi teras rumah memegang selembar kertas dan pensil. Ku amati pemuda itu. Yang membuatku tertarik bukanlah paras rupawannya tapi apakah dia tidak merasa bahwa aku dari tadi mengamatinya. Tiba-tiba pensilnya terjatuh tergeletak di bawah kursi. Pemuda itu terlihat kesulitan mencari pensilnya, padahal sangat mudah menemukan pensilnya karena terletak persis di bawah kursi dekat kakinya. Apa mungkin dia buta? Maka ku putuskan untuk menghampirinya. Kebetulan pagar rumahnya tidak terkunci.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku

“Iya, tolong carikan pensil saya. Tadi terjatuh”

kuambil pensil itu dan menyodorkan pensil itu kepadanya, namun ia bergeming.

“Apa sudah ketemu?” tanyanya

“Iya, ini pensilnya”

Ia menengadahkan tangannya seperti orang minta-minta. Lalu kuberikan pensil itu kepadanya. Ternyata benar dia buta.

Kami pun berkenalan. Aku merasa cocok dengannya. Rupanya dia yang setiap malam memainkan piano. Aku tak menyangka ia buta sejak lahir, karena ia pandai melukis dan lukisan-lukisannya begitu real. Seperti ia pernah melihatnya secara langsung.

Aku mengunjunginya setiap pulang kerja. Kami ngombrol, saling curhat dan semakin dekat. Ibu-ibu menggosipkanku wanita murahan yang mengejar pemuda kaya. Aku tidak peduli. Sampai saat ini aku tidak tahu mengapa mereka sangat membenciku. Apa aku pernah berbuat salah kepada mereka?

Pemuda itu bercerita tentang kerajaan impiannya yang indah dan damai. Ia pun memperlihatkan lukisan kerajaan itu. Kerajaan yang tidak akan lagi ada orang yang membicarakan kejelekan orang lain yang memanaskan telinga. Yang mengejutkan, Ia memintaku menjadi permaisuri kerajaannya.

Ia memberi tahuku sebuah rahasia bagaimana membangun kerajaan itu. Semua harus dibumihanguskan. Setelah itu baru dibangun kerajaan yang kuat, indah dan damai. Hanya itu jalan satu-satunya katanya.

Malam itu otakku dipenuhi impian akan kerajaan indah dimana aku menjadi permaisurinya. Ketika jam berdentang 12 kali, aku bangun. Aku mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk membangun kerajaan yang indah. Kutumpahkan minyak tanah yang ada di dalam kompor lalu kunyalakan api. Api semakin lama semakin besar, membakar habis rumahku. Aku memandanginya dari luar rumah. Api dengan cepat merembet dan membakar rumah-rumah yang lainnya. Semua orang sibuk memadamkan api, namun api sudah membesar.

“Masih ada orang di dalam rumah itu!” teriak seorang warga sambil menunjuk rumah pemuda rupawan itu.

Seketika itu juga kuteringat pemuda itu tidak bisa melihat. Lalu kuterjang api yang berkobar dan masuk ke dalam rumah pemuda itu.

SI JAGO MERAH BERAKSI

Semalam terjadi kebakaran pada pukul 12.30 WIB. Api diduga berasal dari rumah salah seorang warga. Api dengan cepat menyebar membakar puluhan rumah. Dalam kebakaran tersebut ditemukan dua jasad. Menurut saksi mata salah satu jasad adalah seorang pemuda dan yang satunya lagi perempuan. Perempuan itu masuk menerjang api yang berkobar ketika ada yang berteriak masih ada orang di dalam rumah yang terbakar. Kini kedua jasad tersebut sedang diautopsi. Sampai berita ini turun belum diketahui identitas kedua korban…..

Aku membaca Koran pagi ini sambil tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar